Monday, April 5, 2010

Alternatif Energi Dari Salak Pondoh


www.AstroDigi.com

Tempointeraktif.com | Kamis, 01 April 2010 | Salak busuk sangat mengganggu upaya ekspor dari para petani salak di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sesuai ketentuan, limbah tak boleh dibuang ke kebun.

Dua tim mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Bio-Surya dan Bioetanol, menawarkan solusi terbaik di ajang Green Tech Competition Institut Teknologi Bandung pada 29-30 Maret lalu. Sampah salak diperas dengan teknologi sederhana hingga menjadi bioetanol. Bahan bakar berupa alkohol berkadar 70 persen itu sanggup mendidihkan air sepanci dalam dua menit.

Kedua tim berangkat dari proses awal yang sama. Setelah mengumpulkan salak-salak busuk, mereka hanya mengambil daging salaknya saja. Kulit dan biji disisihkan. "Dagingnya kemudian dicacah pakai mesin parut," kata Ketua Tim Bioetanol, Daniel Agung.

Daniel bersama rekan di Fakultas MIPA UGM angkatan 2006, Setyaningrum, dan Ajeng Pratiwi, mencacah buah difermentasi dengan ragi tapai dan urea. Ragi sebanyak tiga persen ditambah urea satu persen dari berat bubur salak. Urea dipakai agar bakteri mempercepat pembusukan.

Fermentasi merupakan cara yang umum di masyarakat. Hasil fermentasi selama 7 hari kemudian diperas. Agar murah, saringannya cukup memakai kain bekas karung tepung terigu. Dari 10 kilogram salak busuk, Tim Bioetanol mendapat 11 liter bioetanol. Air yang masih keruh dimasukkan dalam panci tertutup lalu dipanaskan sampai titik maksium api 78 derajat celcius agar kadar alkohol meningkat dari 55 persen menjadi 70 persen.

Tapi proses distilasi standar, kata Daniel, masih dikeluhkan para petani. "Mereka harus menunggu 2 jam sampai tetes pertama alkohol keluar dari pipa," dia menuturkan. Setelah tetes pertama uap alkohol yang didinginkan di panci ketiga dengan air menetes deras seperti pipa bocor.

Petani semapt menanyakan kemungkinan alkohol diminum. "Saya bilang belum tahu pak, karena ada kandungan ureanya," kata Daniel. Dari 11 liter bir etanol, alkohol sebagai bahan bakar sebanyak 1,5 liter. Kadar bahan bakar bisa ditingkatkan dengan destilasi ulang alkohol agar mencapai 80 persen.

Bioetanol itu dimasukkan dalam botol plastik dengan selang pipa dan ditutup rapat. Cairannya kemudian dialirkan ke kompor gas dengan cara disuntik. Klek! Begitu pemantik dinyalakan, kompor menyala.

Dari percobaan tim, untuk memasak air sepanci hingga 250 mili liter, bioetanol yang terpakai hingga air mendidih dalam 2 menit hanya 30 mili liter. Juri acara Green Tech Competition menobatkan karya itu sebagai juara ketiga. Menurut Daniel, ide riset inovasi itu bermula dari saran dosen yang jengah melihat sampah salak busuk di perkebunan.

Tim Bio-Surya yang diawaki Adi Trimulyo, Adhita Sri Prabakusuma, Dita Adi Saputra, dan Muhammad Shidiq, puas sebagai juara favorit. Bio-Surya sebenarnya menawarkan cara cepat dalam proses fermentasi. Dengan memakai cairan Good Bacteria (GB)-1, fermentasi hanya butuh 3-4 hari, atau dua kali lebih cepat dari cara tim Bioetanol.

Kelebihan lainnya, mereka sanggup mengolah sisa ampas bubur salak menjadi pupuk butiran (granula). "Kalau bentuknya bubuk, pupuk itu mudah terbawa air waktu hujan. Tapi kalau butiran, bisa lebih tahan di tanah," kata Adi Trimulyo.

Namun cairan GB-1 temuan pensiunan dosen UGM Gembong Danudiningrat itu belum beredar luas di pasaran. Cairan yang berisi 14 jenis bakteri dari rumen sapi seperti Actinomycetes, Azotobacter, Agrobacterium sp., Penicilium sp., dan Lactobacillus sp., itu baru bisa diperoleh di kampus UGM seharga Rp 20 ribu per liter. Karena itu mungkin, mereka belum terpilih sebagai pemenang kali ini.

www.AstroDigi.com (Nino Guevara Ruwano)

Comments :

0 comments to “Alternatif Energi Dari Salak Pondoh”


Post a Comment