Tuesday, April 6, 2010

Baraka, Astrofisikawan Kelas Dunia Dari Gaza


www.AstroDigi.com

Tempointeraktif.com | Senin, 29 Maret 2010 | Astrofisikawan dunia asal Palestina ini adalah anak tertua dari 14 anak dari bapak seorang tukang penjual daging. Baraka berhasil bangkit dari kondisi lingkungannya yang sederhana di Gaza, yang didera kekerasan -untuk menjadi seorang astrofisikawan, ahli cuaca ruang angkasa dan peneliti untuk NASA, Badan Antariksa Amerika Serikat.

Usia Baraka kini mencapai 45 tahun. Dia kembali ke rumah dengan misi baru -mengajar anak-anak untuk melihat keindaahan takterbatas alam semesta ciptaan Allah. Meski mereka sampai kini terkurung karena wilayahnya diblokade.

Baraka mendapat teleskop yang pertama ada di Gaza, sumbangan dari Persatuan Astronomi Internasional. Rencananya, alat ini untuk memperkenalkan astronomi di tiga universitas di Gaza. Dia juga bermimpi untuk membangun sebuah observatorium dan stasiun penelitian geomagnetic.

Dia sangat ambisius untuk sebuah wilayah yang telah dikunci oleh Israel dan Mesir selama hampir empat tahun. Tapi bukan Baraka yang keras kepala kalau tidak mempunyai optimisme. Dalam wilayah yang telah tercabik-cabik oleh kemelut politik dan konflik agama, ia melihat orang mempunyai kesamaan, bukan apa yang membedakan mereka. "Ada alam semesta yang indah untuk semua orang -tidak ada batas, tidak ada pagar, tidak ada dinding," katanya dalam sebuah wawancara.

Kondisi ini tak menggeser iman Baraka sedikitpun. Bahkan setelah ia kehilangan putranya Ibrahim, 11 tahun, saat perang Hamas melawan Israel meletus setahun yang lalu. Saat itu, Baraka tengah menimba ilmu di Virginia Tech, penelitianya selama dua bulan menjadi setahun penuh dengan dana hibah penelitian dari NASA dan National Science Foundation, sementara istri dan empat anaknya tetap tinggal di kota kelahirannya Khan Younis di selatan Gaza.

Pada 29 Desember 2008, sebuah pesawat perang Israel membom rumah keluarga Baraka. Ibrahim terkena. Dia dirawat di rumah sakit di Mesir, kepalanya luka berat. Baraka langsung terbang dari Amerika ke Mesir, untuk berdoa. Dia menangis di samping tempat tidur anaknya. Ibrahim tidak pernah sadarkan diri dan meninggal seminggu setelah pemboman - salah satu dari sekitar 1.400 orang Palestina yang tewas dalam tiga minggu serangan yang bertujuan untuk mengakhiri tahun tembakan roket dari Gaza di kota-kota Israel.

Baraka dilarang memasuki Gaza sementara perang sedang terjadi. Dia merindukan untuk ikut pemakaman buah hatinya. Namun Baraka harus berada di tempat lain, di Amerika Serikat untuk menyelesaikan risetnya.

Pada bulan Oktober ia kembali ke Gaza dengan misi baru - untuk memberikan kebahagiaan kepada anak-anaknya mengenalkan ruang angkasa dan untuk memberi penghormatan kepada Ibrahim, belahan jiawanya yang telah tewas.

Pada tanggal 12 Maret malam, dia menggelar "pesta bintang" pertamanya. Mengenakan topi NASA, ia mendudukkan teleskop di halaman sekolah anaknya di Khan Younis dan menarik tiga lusin murid, yang sebagian besar anak-anak. Beberapa gadis berjilbab, dan beberapa orangtua dan guru ikut berkerumun.

Sebagian orang dewasa bertanya, apakah ilmu ruang angkasa kompatibel dengan Islam. Baraka meneguhkan kepercayaan mereka dengan mengutip salah satu ayat dari Quran. Sementara Anak-anak melangkah mendekati teleskop. Mereka semua tahu itu bukan mainan.

"Ini adalah sesuatu yang indah," kata Abdullah Majaideh, 14, setelah menatap ke langit melalui teleskop. "Aku tidak pernah membayangkan bisa melihat ke dalam teleskop dan melihat ruang angkasa."

Air mata Baraka berlinang. Ironis memang, warga Gaza sudah tak bisa kemana-mana karena blokade. Dinding sepanjang 360 kilometer persegi mengurung wilayah yang merupakan salah satu tempat di dunia yang paling padat penduduknya --sekitar 1,5 juta orang. Wilayah ini dikurung pagar dinding dan Angkatan Laut Israel.

Kontak dengan dunia luar hanya bisa dilakukan secara sporadis. Namun tekad Baraka tak surut sedikitpun. Dia mengundang pensiunan astronot NASA, Jeffrey Hoffman, dan ketua Persatuan Astronomi Internasional, Bob Williams, ke Gaza, tetapi karena ketidakpastian memasuki wilayah ini membuat kunjungannya ke Tepi Barat tak berlanjut memenuhi undangan Baraka.

Sebenarnya, ketertarikan Baraka dengan ruang angkasa sudah terlihat sejak di sekolah menengah. Ia berkata bahwa ia dibesarkan di sebuah keluarga yang meghargai belajar, meskipun orangtuanya tak tinggi pendidikan formalnya. Semua, kecuali dua saudara-saudaranya menuntut ilmu sampai perguruan tinggi.

Setelah mempelajari fisika, ia masuk ke dunia politik, menghabiskan dua tahun di sebuah penjara Israel, karena bergabung dengan organisasi terlarang, Fatah, yang kemudian memegang posisi pemerintahan Palestina. Tapi setelah upaya perdamaian runtuh pada tahun 2000, ia kembali ke dunia akademis.

Ia memperoleh gelar master di bidang fisika dari Universitas Islam Gaza, gelar doktor dari Institut Astrofisika Paris. Setelah kembali ke Gaza beberapa saat, dia dipekerjakan oleh Virginia Tech dalam program hibah setahun penuh.

Baraka, istri dan tiga anaknya yang bertahan hidup kini tinggal di sebuah apartemen dengan perabotan tumpukan buku-buku. Tempat tinggalnya sekarang berada tepat di seberang jalan dari rumah mereka yang telah rata dengan tanah. Dia bilang dia tiak habis pikir mengapa rumah itu dibom. Sanak keluarganya telah meninggalkan gedung untuk keamanan, tapi Ibrahim dan neneknya berada di dekat rumah itu ketika bom menghantamnya.

Ia kini berusaha mengejar ketinggalan dalam penelitian tetapi pertukaran informasi dengan teman-temannya terhambat blokade Israel dan seirngnya lisrik padam.

Baraka mengatakan, kepuasan terbesarnya adalah bisa menginspirasi orang-orang muda, termasuk mahasiswa di kelas astronominya. Dia berharap untuk mengajar pada musim gugur mendatang.

"Aku akan menunjukkan kepada mereka jalan," katanya, "seperti jalan yang telah ditunjukkan kepada saya sebelumnya."

www.AstroDigi.com (Nino Guevara Ruwano)

Comments :

0 comments to “Baraka, Astrofisikawan Kelas Dunia Dari Gaza”


Post a Comment